Selasa, 01 April 2008

Berlabuh di Ujung Pulau

Oleh Sidiq Subagong NM*

Sampanku retak tertempa besi membara yang aku buat di atas dermaga. Dayung-dayung patah termakan rayap. Layar pun penuh noda dan robek. Terkoyak buliran pasir emas yang mengendap ribuan tahun dalam sejarah. Pelayaranku tak akan sampai, hingga perbatasan pulau peradaban. Seperti halnya patung tengkurap dalam sujud di atas pasir. Durhaka pada tanah rahim kelahiran. Benturan-benturan sangat terasa pada kekakuan lidah. Berdiri pun enggan. Bangun pun entah. Tulang-tulang patah. Tertancap cairan timah es. Membeku hingga membatu.
Tuan, bangunkan aku dari mati. Sebab aku tak lagi hidup. Tariklah layarku dengan kuasamu. Pahatkan dayung patahku dengan cahayaku yang kausimpan ribuan abad yang lalu. Doakan aku, agar sampai pada perbatasan waktu tanpa ujung. Rajutlah temaliku agar tak lagi kusut, sebab benangku tak lagi putih. Temanilah aku dalam berlayar. Tersesat adalah bagian dari kekosonganku. Petaku buta. Kompasku tak tahu arah angin. Kalau memang air laut surut, bukan berarti semangatku juga surut.

Bakarkan dupa untuk sang ratu di peraduannya. Ia tahu bahwa aku tanpa saku. Dayang-dayangnya pasti akan melumatku, jika taburan bunga tak ada padaku. Tujuh bunga berlapis puja. Menggeramang pada setiap lidah. Kaku pada tiap taburan. Sungguh hinanya, ketika orang memojokkan dirinya demi sesuatu yang diidamkan. Sesuatu yang dicari. Tanpa henti dan tanpa mengerti tentang apa dan makna. Masih saja berlaku sampai kemaluan menggigil tertelan buih. Terseret ombak bayang, yang tidak begitu jelas. Mengambang. Terombang-ambing tergoncang karang. Melumut menunggu waktu. Sungguh sangat merugi.

Masih saja kapalku berderak menjauh, mendekati batas-batas impian. Menerawang samudra indah ketenangan. Perbatasan dua pintu yang berbeda. Bukan lagi tanah dan rumput. Namun, air garam dan gurita laut. Memamerkan tinta busuk, yang dikeluarkan melalui celahnya. Menelan teri di antara murka para pelayar yang terdampar. Bukan lagi perbatasan daratan dan lautan. Melebihi itu semua.

Dan seandainya aku mampu merangkak di dasar laut. Sungguh, aku sangat bersyukur, sebab tak akan ada lagi sampan retak. Dayung patah. Layar robek. Aku bisa bercengkrama dengan para duyung. Merebahkan kepala di antara sirip-siripnya yang lembut. Menyisir uraian rambut. Wangi dalam kejemuan. Sungguh indahnya.

Betapa terkejutnya, tiba-tiba datang sebangsa ikan hiu menerawang menusuk tajam matanya padaku. Mengincar sebagai mangsa yang siap untuk mengasah giginya yang tajam. Dengan darah dan dagingku tentunya. Kapalku sudah tak terpikir lagi, layarku sudah tak lagi terlintas dalam otakku. Semuanya buyar. Lalu aku mengendap-endap berlahan menuju karang. Bersembunyi dari sang buas.

Menghindar dari malapetaka yang sudah siap menelan tujuan utamaku, yaitu berlabuh pada pulau baka yang telah menantiku ribuan tahun. Di sana telah menunggu sang berkehendak dengan sang ratuku. Masih saja ikan hiu memojokkan anganku. Semakin menyudutkan dan menyurutkan keinginanku. Matanya yang api semakin memerah. Membakar pelipis kiriku. Lalu aku terpental dan lari sekuat-kuatnya. Namun, nampaknya sama saja berlari dalam laut. Ini bukan wilayah kehidupanku. Ini bukan tujuan utamaku. Mungkin juga ini adalah petaka yang dikirim sang berkehendak untuk memancing keyakinanku.

Betapa hinanya aku merasakan. Degub jantung semakin kuat. Mata nanar. Gigi bergemeretak. Kaki gemetar. Duri-duri dalam kulit semakin bermunculan. Menolak keyakinan yang dulu pernah aku bangun. Seperti karang yang menolak ombak, namun siap terkikis. Buihnya yang tidak bisa pisah dari pasir. Semua berbisik padaku, tentang sebuah pertapaan, sebuah keyakinan, sebuah pelayaran, perjalanan. Aku berdiam menatap lawan. Bersenjatakan dayung yang hampir patah. Sambil berbisik, “aku meminta kepada-Mu, angin, gelombang laut, runtuhan karang, pasir yang terluka menjadi permadani dan tameng. Aku siap mengantarkan nyawaku pada-Mu, jika itu memang kehendak-Mu. Jadikan aku tumbal dari padanya, sebagai pengganti pertapaanku yang panjang. Pengganti yang lain, yang kalah, yang mati”.




* Sidiq Subagong, nama aslinya Sidiq Nur Muhammad. Lahir di Sleman, 28 Desember 1984. Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga yang bergiat di Teater ESKA. Karya-karyanya, antara lain: pementasan "Petang Di Taman" karya Iwan Simatupang, Tadarus Puisi "GHOFALL" sutradara Ismail Marzoki, "Bukan Keranjang Sampah" sutradara Rahmad Hidayat dalam FESTAMASIO, dll. Pemain Utama (Pemeran Terbaik) dalam film Indie "Lentera Di balik Selimut" sutradara Bambang C Irawan (FKY).

Tidak ada komentar: