Minggu, 07 Desember 2008

Senin, 14 April 2008

KISAH CINTA DI ESKA

Jum’at, 6 Februari 2004
Ada lagi percikan-percikan asmara yang terus mengejarku. Apakah ini hanya bayang-bayang yang sekelebatan berlarian ke sana-kemari? Aku benar-benar tak tahu. Jangan-jangan ini hanya bagian dari episode kemarin yang pada saatnya nanti pasti berlalu. Akankah hatiku tersandung dengannya. Dan memulai cerita baru lagi. Cerita yang kelak akan menjadi sejarah bisu dan terpatri di jiwaku.Tuhan, jangan kerdilkan jiwa hamba-Mu ini menghadapi kenyataan hidup. Jadikan hamba seperti Ibrahim yang tak gentar kepada siapapun dan siap menanggung segala resiko.

BERSAMBUNG...

DIARY CINTA DI ESKA...

Senin, 26 Januari 2004
Pantai Trisik Kulon Progo adalah saksi bisu atas semua yang telah terjadi padaku. Malam itu, mataku tertutup kain hitam. Aku dan teman-teman dibuat bak boneka oleh panitia workshop Teater ESKA. Tanpa alas kaki, kami menyusuri ruas jalan setapak hanya dengan mengandalkan insting. Kaki tertusuk duri, menginjak serpihan batu dan cadas-cadas tajam. Aku rasakan anggota tubuhku serasa mau lepas satu persatu. Dengan arah yang berlawanan, mereka—para panitia, menarik kedua lenganku dengan kencang. Bentakan-bentakan pedas dan makian sudah bukan mahluk asing lagi di telingaku. “Awas! jangan sampai lepas pegangan kalian!!” teriak mereka yang terus terngiang di telingaku malam itu.
Esok pagi, dramatikal mengerikan kembali terulang. Di bawah terik mentari yang menyengat, kami dipaksa berekspresi di pasir pantai yang membara itu. Dahsyat! Pasir yang membara itu seketika menyelomot sekujur tubuhku. Ini adalah penyikasaan gaya baru sebagai salah satu syarat menjadi anggota komunitas seniman. Yang ada di benakku hanyalah harapan, semoga ekspresi di atas pasir ini lekas beralih ke bibir pantai. Lantas aku akan berguling-guling di air sampai puas!!
Namun apa yang terjadi?! Ekspresi di pasir ternyata berlangsung cukup lama sampai di batas kesabaran yang tipis. Dari gaya kapas terhempas air, gaya kuda meringkik, gaya cumi-cumi, cacing menggeliat, hingga gaya kura-kura merangkak, semua itu harus kami lakukan di atas bara pasir.
Aku berguling-guling, merayap, meloncat, merangkak. Raut wajahku merah-padam. Rambutku menjadi tempat adonan pasir. Bersimbah! Sungguh kenangan yang tak terlupakan sekaligus menyenangkan!
Ups! Aku mendapat kenalan baru. Sayang, aku hanya bisa mengagumi. Tak berani mencintai dia. Terlalu traumatik. Aku terlalu dihantui berbagai resiko. Ah, biarlah aku menikmati ayunya saja. Aku masih ingin merdeka. Terbebas!!
[Hingga sore ini, sekujur tubuhku masih terasa pegal-pegal.]
BERSAMBUNG...

Sabtu, 05 April 2008

Ada yang tahu ini wajah siapa saja ini? Inilah para arsitektur rumah Eska. yang stress mikirn auditorium di ratakan dengan tanah..! Kirim sms sebanyak-banyaknya kepada yang bersangkutan! Buruaaaaaaaaan...!

Rahmat HS

Pria dengan rambut ghondrong ini sedang berusaha menyelesaikan novelnya yang belum memiliki judul itu. Semenjak aktif di Sanggar ESKA, pria dengan tampang sangar tetapi berhati sunda ini cukup lembut dalam tegur sapa, jadi santai saja untuk tersenyum pada dia.

Walaupun cukup mapan dalam menguasai property teater hingga lighting panggung. Tadisisihkan untuk menulis yang menjadi bagian dari dirinya. Buktinya sebuah novel saat ini berada di dalam genggamannya..(Tapi belum tahu nih kapan diterbitkannya)

Kini, Rahmat seneng "bersemedi" untuk mencari inspirasi untuk novelnya. Akan tetapi dibalik itu sema, Rahmat saat ini menjadi arsitektur dalam membangun "Rumah Eska" yang saat ini sedang digarap bersama teman Eska.

Kamis, 03 April 2008



Woi.. Bang Canaka, dimana kau saat ini? banyak obrolan mengalir tentang kau bang di Jakarta, Yogyakarta, di Kediri juga! Ada yang bilang kau sibuk di Dephan sekarang, ada juga yang bilang kau sibuk di apartemennya Muis,,. Nah, yang lagi hangat, ada yang bilang kau berada di Sulawesi? Lha yang bener yang mana ni bang? Kasih kabarlah, kasihan "Oo" yang merana menunggu kabar darimu...

Waktu berjalan mengiringi detik jam yang menempel di dinding. Saat ini, jarum detik waktu itu sudah mengarah di angka 6, tapi sayang kita tidak tahu itu angka 6 untuk pagi hari atau memang untuk hari sudah sore...!

Selasa, 01 April 2008

RamadhanTungku Waktu dalam Tadarus Puisi Teater Eska

RamadhanTungku Waktu dalam Tadarus Puisi Teater Eska
Oleh Agnes Rita

Sulistyawaty Jika aku berjihad semoga yang kulawan diriku sendiri saja/Jika aku gugur di medan laga, toh kematian tak lagi bermakna/Semoga jiwaku hanya engkau saja penggenggamnya. Bersamaan dengan berakhirnya kata-kata yang diteriakkan seorang berpakaian putih di atas kursi singgasananya, tiga mayat yang masih terbungkus kafan bangkit dari peti, begitu pula tiga orang berpakaian serba putih terjaga dari lelap mereka. Menit-menit berikutnya, bait puisi-puisi karya Matori A Elwa diucapkan bergantian dari para pemain.

Inilah Tadarus Puisi XIII berjudul Tungku Waktu yang dibawakan Teater Eska Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga pada, Minggu (8/10) di sebuah lapangan terbuka di gedung lama Fakultas Tarbiyah kampus setempat. Pertunjukan sekitar 45 menit itu hendak menggugat persoalan waktu, dengan "meminjam" kata-kata dari Matori, penyair kelahiran 6 September 1965, terutama dari kumpulan puisi bertajuk Negeri Rajah Istighfar.

Jejen Fauzan, penulis naskah, mengaku tertarik dengan puisi bertema waktu. Dalam proposal, Teater Eska ingin mempertanyakan kembali perilaku manusia untuk berburu kesenangan yang pada akhirnya hanya berhadapan dengan dinding kosong. Di antara lantunan bait-bait puisi secara bergantian, musik yang digarap Dadang Hermawan berusaha memberi suasana gaib pada pertunjukan. Tidak hanya bunyi suling atau kendang saja yang dihadirkan malam itu.
Lengkingan gitar dan entakan drum juga ikut memberi kesan mistik. Tadarus yang disutradarai Musfiq Ch tahun ini berbeda dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, yang sempat juga mengusung musik hardcore dalam pertunjukan.

Gerak stakato atau terpatah-patah yang sempat dihadirkan beberapa kali dijadikan simbol untuk menggambarkan perguliran waktu yang selalu mencatat kebobrokan tingkah manusia. Perputaran waktu juga digambarkan pula dengan sejumlah kata atau gerak yang dilakukan berulang kali. Para personel Teater Eska mati-matian menolak adanya penokohan dalam tadarus kali ini. Namun, setting panggung yang bernuansa alam kuburan telah menggiring imajinasi penonton untuk menyebut para aktor itu seperti "tokoh" mayat serta sosok putih yang melambangkan "penghuni" lain dalam kehidupan manusia berikutnya. Begitu pula keinginan Teater Eska untuk menampilkan puisi tanpa diembel-embeli teater didalamnya.

Usaha ini masih berbenturan dengan kenyataan di atas panggung, yakni akting pemain yang sangat teatrikal, antara lain dengan melakukan pengulangan kata secara berbisik-bisik dan gerak panggung para pemain yang begitu dinamis dari satu tempat ke tempat lain. "Pentas ini adalah teks yang bebas dibaca apa pun oleh penonton. Kami juga berusaha agar tidak ada penokohan dalam lakon malam itu," tutur Musfiq Ch. Acara tahunan Tadarus puisi merupakan kebiasaan yang dipersembahakan Teater Eska setiap tahun, pada bulan Ramadhan. Kegiatan yang diadakan setelah shalat tarawih malam itu dimaknai oleh tim Teater Eska sebagai bagian dari upaya membangun religiusitas di kampus UIN Sunan Kalijaga.

Nama tadarus belum ditemukan definisi bakunya. "Kami juga berharap bisa memberikan alternatif membawakann tadarus," kata Musfiq. Di tengah akting teater yang membawakan puisi malam itu, para pendukung acara, baik pemain, sutradara, maupun penata musik mengakui keterbatasan waktu untuk mengeksplorasi penampilan mereka malam itu. Seluruh persiapan pementasan ini tergolong singkat, hanya 25 hari saja. Maklumlah, bila pentas diundur lagi, sebagian personel Teater Eska sudah mudik ke kampung halaman masing-masing.

Berlabuh di Ujung Pulau

Oleh Sidiq Subagong NM*

Sampanku retak tertempa besi membara yang aku buat di atas dermaga. Dayung-dayung patah termakan rayap. Layar pun penuh noda dan robek. Terkoyak buliran pasir emas yang mengendap ribuan tahun dalam sejarah. Pelayaranku tak akan sampai, hingga perbatasan pulau peradaban. Seperti halnya patung tengkurap dalam sujud di atas pasir. Durhaka pada tanah rahim kelahiran. Benturan-benturan sangat terasa pada kekakuan lidah. Berdiri pun enggan. Bangun pun entah. Tulang-tulang patah. Tertancap cairan timah es. Membeku hingga membatu.
Tuan, bangunkan aku dari mati. Sebab aku tak lagi hidup. Tariklah layarku dengan kuasamu. Pahatkan dayung patahku dengan cahayaku yang kausimpan ribuan abad yang lalu. Doakan aku, agar sampai pada perbatasan waktu tanpa ujung. Rajutlah temaliku agar tak lagi kusut, sebab benangku tak lagi putih. Temanilah aku dalam berlayar. Tersesat adalah bagian dari kekosonganku. Petaku buta. Kompasku tak tahu arah angin. Kalau memang air laut surut, bukan berarti semangatku juga surut.

Bakarkan dupa untuk sang ratu di peraduannya. Ia tahu bahwa aku tanpa saku. Dayang-dayangnya pasti akan melumatku, jika taburan bunga tak ada padaku. Tujuh bunga berlapis puja. Menggeramang pada setiap lidah. Kaku pada tiap taburan. Sungguh hinanya, ketika orang memojokkan dirinya demi sesuatu yang diidamkan. Sesuatu yang dicari. Tanpa henti dan tanpa mengerti tentang apa dan makna. Masih saja berlaku sampai kemaluan menggigil tertelan buih. Terseret ombak bayang, yang tidak begitu jelas. Mengambang. Terombang-ambing tergoncang karang. Melumut menunggu waktu. Sungguh sangat merugi.

Masih saja kapalku berderak menjauh, mendekati batas-batas impian. Menerawang samudra indah ketenangan. Perbatasan dua pintu yang berbeda. Bukan lagi tanah dan rumput. Namun, air garam dan gurita laut. Memamerkan tinta busuk, yang dikeluarkan melalui celahnya. Menelan teri di antara murka para pelayar yang terdampar. Bukan lagi perbatasan daratan dan lautan. Melebihi itu semua.

Dan seandainya aku mampu merangkak di dasar laut. Sungguh, aku sangat bersyukur, sebab tak akan ada lagi sampan retak. Dayung patah. Layar robek. Aku bisa bercengkrama dengan para duyung. Merebahkan kepala di antara sirip-siripnya yang lembut. Menyisir uraian rambut. Wangi dalam kejemuan. Sungguh indahnya.

Betapa terkejutnya, tiba-tiba datang sebangsa ikan hiu menerawang menusuk tajam matanya padaku. Mengincar sebagai mangsa yang siap untuk mengasah giginya yang tajam. Dengan darah dan dagingku tentunya. Kapalku sudah tak terpikir lagi, layarku sudah tak lagi terlintas dalam otakku. Semuanya buyar. Lalu aku mengendap-endap berlahan menuju karang. Bersembunyi dari sang buas.

Menghindar dari malapetaka yang sudah siap menelan tujuan utamaku, yaitu berlabuh pada pulau baka yang telah menantiku ribuan tahun. Di sana telah menunggu sang berkehendak dengan sang ratuku. Masih saja ikan hiu memojokkan anganku. Semakin menyudutkan dan menyurutkan keinginanku. Matanya yang api semakin memerah. Membakar pelipis kiriku. Lalu aku terpental dan lari sekuat-kuatnya. Namun, nampaknya sama saja berlari dalam laut. Ini bukan wilayah kehidupanku. Ini bukan tujuan utamaku. Mungkin juga ini adalah petaka yang dikirim sang berkehendak untuk memancing keyakinanku.

Betapa hinanya aku merasakan. Degub jantung semakin kuat. Mata nanar. Gigi bergemeretak. Kaki gemetar. Duri-duri dalam kulit semakin bermunculan. Menolak keyakinan yang dulu pernah aku bangun. Seperti karang yang menolak ombak, namun siap terkikis. Buihnya yang tidak bisa pisah dari pasir. Semua berbisik padaku, tentang sebuah pertapaan, sebuah keyakinan, sebuah pelayaran, perjalanan. Aku berdiam menatap lawan. Bersenjatakan dayung yang hampir patah. Sambil berbisik, “aku meminta kepada-Mu, angin, gelombang laut, runtuhan karang, pasir yang terluka menjadi permadani dan tameng. Aku siap mengantarkan nyawaku pada-Mu, jika itu memang kehendak-Mu. Jadikan aku tumbal dari padanya, sebagai pengganti pertapaanku yang panjang. Pengganti yang lain, yang kalah, yang mati”.




* Sidiq Subagong, nama aslinya Sidiq Nur Muhammad. Lahir di Sleman, 28 Desember 1984. Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga yang bergiat di Teater ESKA. Karya-karyanya, antara lain: pementasan "Petang Di Taman" karya Iwan Simatupang, Tadarus Puisi "GHOFALL" sutradara Ismail Marzoki, "Bukan Keranjang Sampah" sutradara Rahmad Hidayat dalam FESTAMASIO, dll. Pemain Utama (Pemeran Terbaik) dalam film Indie "Lentera Di balik Selimut" sutradara Bambang C Irawan (FKY).

Keteguhan Iman Teater Eska

Keteguhan Iman Teater Eska
Oleh Marhalim Zaini
Tanggal: Wednesday, 24 December 2003 11:09Topik: No.38 Th.56 Minggu III Desember 2003

“Hamba tak punya nama, wujud hamba adalah nama hamba....”SEORANG RAJA yang lalim, tiba-tiba mati, kemudian hidup kembali dalam tokoh lain yang lebih jahat dan kejam. Untuk membenarkan kejahatannya, ia perintahkan pada seorang penyihir (penasihat istana) untuk menyusun kitab suci baru (kitab suci kebohongan). Karena merasa sudah tua, sang penyihir mewariskan tugas dan semua ilmunya kepada seorang pemuda.

Namun tanpa sepengetahuan raja maupun penasihatnya, pemuda itu juga belajar ilmu pada ahli agama.Dan ketika ilmu agamanya sudah mendalam, ia memberontak dan melakukan perlawanan pada sang raja. Sampai akhirnya ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Akan tetapi, walau disiksa dengan berbagai cara, pemuda itu tetap teguh pendiriannya, pada iman dan kebenaran yang diyakininya, hingga kemudian ia dan seluruh pengikutnya dimasukkan ke dalam parit-parit yang telah dipenuhi kobaran api. Dan parit-parit itu terus memanjang, digali dan dibangun sepanjang abad sebagai penjara paling biadab dalam sejarah peradaban manusia.

Dari sinopsis cerita Toghout (Para Penggali Parit) di atas, ada semacam keyakinan yang mendasari proses lahirnya sebuah gagasan teater dalam tubuh Teater Eska. Keyakinan --yang kelak disebut ideologi-- itu seolah dalam pementasan kali ini, mencuat sebagai bahasa penegasan yang konkret terhadap wacana estetik yang diimani Teater Eska sejak tahun 1980-an. Dan sejarah mencatat, Teater Eska pun kemudian mampu menyempal membentuk sebuah rezimentasi “teater sosial-religius” di tengah dominasi wacana “teater sampakan”, “teater kontekstual”, dan “teater benda-benda”.

Toghout yang dipentaskan di tiga kota ini (Purna Budaya Yogyakarta: 25 - 26 September, Auditorium IAIN Suka: 10 Oktober, UIN Sahid Jakarta: 18 - 19 Oktober, dan Gedung Kesenian Bandung: 21-22 Oktober), di lain pihak barangkali juga hendak mengusung sebuah tawaran tema dialog tentang wacana ideologi dalam teater modern di Indonesia yang beberapa tahun silam menjadi perbincangan di belantara teater, terutama di Yogyakarta.Hamdy Salad selaku penulis naskah dan sutradara dalam pementasan ini, tampaknya sadar benar bahwa kapal yang dinakhodainya akan menuju ke muara yang mana. Dari semua aspek pertunjukan, mulai dari teks naskah yang puitis (terasa berat karena syarat makna) dengan dihiasi idiom-idiom khas spiritualitas Timur, yang diucapkan oleh para aktor dengan rata-rata menggunakan grand-style ala klasik yang pada banyak sisi sesungguhnya terkesan tambah memperberat corak pementasan ini -- meskipun memang untuk lari pada pilihan teknik berperan yang lain dengan kalimat-kalimat dialog serupa itu, kemungkinannya sangat kecil. Lalu artistik pentas (kostum, properti, setting) yang bernuansa surealis dengan simbolisasi bentuk (torehan rajah-rajah dan ornamen-ornamen) dengan sentuhan warna klasik, juga musik yang didominasi oleh bunyi-bunyi bernuansa magis dan ketimuran, secara keseluruhan sangat mendukung dalam membangun suasana religius dan transendental yang diinginkan.

Pilihan tema dalam cerita ini pun kemudian memungkinkan untuk diarahkan pada objek-objek yang lebih kontekstual. Perang kemanusiaan antara Barat dan Timur dapat ditangkap dengan mudah lewat visualisasi bentuk pengolahan cerita maupun dari munculnya simbol-simbol warna bendera dan kostum yang dikenakan pemain. Apalagi ketika diverbalkan dengan sebuah layar hidup (dengan penggunaan media LCD) terbentang pada salah satu sisi panggung yang menayangkan rekaman gejolak perang Amerika-Irak, penonton dapat lebih tegas mengatakan bahwa ini adalah respons kreatif dari Teater Eska dalam merefleksikan realitas sosial-politik ke atas panggung.

Mungkin dengan cara ini pula di lain pihak dapat membantu penonton untuk lebih mempermudah mengakses bahasa simbol yang demikian padat, baik dari teks naskah maupun teks panggung.Dari sini, kalau hendak ditelusuri lebih jauh, Teater Eska telah menunjukkan satu pilihan dalam berkesenian lewat wawasan estetika Islam yang relevan bagi tujuan inovasi mereka.

Mulai dari awal pementasannya di tahun 80-an dengan naskah Syekh Siti Jenar, lalu Wahsy (adaptasi novel Nadjib Kaelani), Parlemen Setan (adaptasi puisi Iqbal), Kunci Syurga, Simurg (adaptasi novel Musyawarah Burung karya Fariduddin Attar), Berdiri di Tengah Hujan, Kaki Langit, Di Atas Bangku Kosong, Hingga Perbatasan Hari, dan Toghout sendiri merupakan pilihan-pilihan naskah yang bukan tanpa pijakan ideologis.Wawasan estetik Islam di sini sesungguhnya sejalan dengan pandangan Abdul Hadi WM dalam melihat kecenderungan dalam senirupa Islam, yang berdasarkan pada sebuah pemahaman bahwa untuk menciptakan sebuah karya, sang seniman harus berdiri di luar ilusi, yakni bentuk-bentuk artistik yang diyakini seolah benar-benar merupakan representasi dari objek-objek yang ada di alam zawahir. Sebab tugas seniman bukanlah melakukan peniruan (mimesis) yang bersifat indrawi, akan tetapi mendayagunakan kemampuan akal, imajinasi dan intuisinya untuk menghadirkan diri sepenuhnya.

Lebih tegas Abdul Hadi mengatakan “sebagai representasi simbolik dari dunia kerohanian, seni semestinya mampu menjadi semacam tangga naik menuju pengalaman religius dan transedental”. (Ulumul Quran, 1998).Wawasan estetika semacam ini bagi Teater Eska --yang berbasis pada ilmu-ilmu agama karena memang secara organisatoris berada di bawah bendera Institusi Agama Islam-- secara riil dapat dilihat pada style penggarapan yang tidak memilih aliran-aliran tertentu dalam teater, seperti realisme, klasik, absurd, dll, yang telah memiliki konvensi dramaturgi masing-masing. Akan tetapi melompat-lompat dari ruang kosong satu ke ruang kosong yang lain, meskipun tidak akan pernah ada ruang yang benar-benar kosong dari konvensi jika kita menilik perkembangan teater kontemporer kita.

Namun Teater Eska terbukti dalam sejumlah pementasannya telah berhasil membuat ruang baru bagi medan pergulatan kreatifnya sendiri, dengan berdiri di luar konvensi baku dan berhasil mentransformasikan gagasan dan pengalaman ke dalam simbolisasi visual di atas panggung.Pilihan terhadap naskah Toghout ini --yang terinspirasi dan diilhami dari kisah-kisah klasik dalam Islam, tepatnya kisah Ashabul Hudud (QS, Al Buruj), menjadi beralasan ketika pelacakan estetika Islam kita telusuri lebih jauh ke belakang.

Bahwa sejak Perang Dunia Kedua kita mencatat nama-nama seprti Taha Husein yang mengangkat satu episode dalam kumpulan cerita klasik Seribu Satu Malam menjadi sebuah novel berjudul Shahrazah. Kemudian salah seorang pengarang besar Mesir, Taufik al-Hakim, menulis drama tentang para pemuda yang berbekal iman bersembunyi dalam sebuah gua dekat kota Ephesus di pantai barat Asia Kecil, untuk menghindari kekejaman Kaisar Decius. Lalu ada penulis dari Mesir lainnya seperti Mahmud Taimur yang menulis novel satir berjudul Kleopatra. Kemudian Nasjib Mahfouz yang pada dekade terakhir karya-karyanya banyak diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.

Belum lagi kalau mau menengok kekayaan khazanah sastra lama nusantara yang berlatar belakang Islam, baik dalam bentuk legenda, hikayat, mitos, kisah-kisah sufi dll, barangkali kita tak perlu iri dengan drama-drama Sofokles, Euripides dan Aeschylus yang hidup empat-limat abad sebelum masehi.Dan Teater Eska telah memulainya sejak 23 tahun yang lalu. Memulai sebuah perjalanan spiritualitas Islam lewat dunia teater. Pementasan Toghout adalah bukti keteguhan iman Teater Eska untuk tetap berkiblat pada ideologinya.

Meski di balik itu, sesungguhnya Teater Eska sedang digempur oleh kekuatan-kekuatan ideologi di luar dirinya yang terus membangun strategi-strategi dalam “parit-parit” modernisme, yang semakin mencuatkan konflik agama-agama sebagai salah satu pemicu untuk membentur-benturkan realitas dalam isu-isu sosial-politik. Pilihan Teater Eska pun akan sangat berisiko, jika pemahaman-pemahaman objektif atas kebenaran universal dalam seni, menjadi tameng bagi bahasa keberpihakannya, yang justru akan terbakar oleh kobaran api ideologi yang mengitarinya. Atau, mungkin sebaiknya Teater Eska berucap seperti kalimat yang keluar dari mulut sang pemuda pemberontak dalam cerita Toghout ini: “Hamba tak punya nama, wujud hamba adalah nama hamba....” n*)

Marhalim Zaini, adalah Penyair dan Pekerja Teater.

Cita-cita Mencari Auditorium Nan Hilang

Menjadi Teater Eska atau TheOther Eska

Ditengah hujan rintik dan gerimis yang membuat ngiris, satu-persatu kawan-kawan dari warga Eska bertahan di Yogyakarta dan di luar Yogyakarta bertahan di obroloan kopi Khandang. Setidaknya melakukan nostalgia, tentang rencana tentang rumah atau sanggar yang sudah di telan bumi. Setidaknya masih ada harapan untuk kita kembali ke rumah!
Di lokasi bekas kandang ayam peninggalan pengusaha sukses itulah, sosok Zuhdi Siswanto dengan kostum celana pendek layaknya anak gaul masih terlihat enjoy menikmati kopi susunya. Begitu juga Gus OO dengan stelan jenggot yang seperti sudah terlihat sedikit cokelat dan mendekati memutih capek meliput berita banjir.

Sementara itu Abdul Muis yang pulang kerja dengan sepatu pantofel yang sudah mulai menganga datang ditengah hujan yang masih rintik. Sedangkan obroloan pembukaan sudah diawali oleh Rahmat, Asnil, dan Surya Tajudin yang sudah duluan ambil posisi. Biasa, obroloan berawal dari basa-basi tentang ceita masa lalu.. Lagi-lagi masa lalu…

Tanpa sengaja secara tiba-tiba bahkan dengan teknik muncul gaya pementasan Diatas Bangku Kosong, Om Dharmo dengan tampang MC berkelabat muncul ditengah obrolan. Dengan menenteng jenang kudus, seperti biasa Om Dharmo masih mengingat laku yang biasa dilakukan di auditorium tercinta.

Dengan dua bungkus jenang dengan ditemani kopi pahit bikinan Rahmad. obrolan semakin panas ditengah derasnya hujan yang mengguyur. Intinya adalah, cerita tentang teman yang bikin kesal atau cerita tentang warga juga anggota Eska yang ada dikampus.

Setidaknya, kelompok orang yang sudah gelisah ini berfikir tentang anggota Eska yang sekarang pada sibuk kuliah dan aktif mengejar nilai A+ atau menjadi aktivis kampus yang gagah berani. Tak ada terfikir sejenakpun, tentang bayang-bayang Eska 200 tahun lagi. Yang penting mulai hari ini, kita harus berbuat lagi, setidaknya untuk tempat ngobrol, curhat di lokasi tumpangan yang diberikan oleh Om Acun yang baik hati.

Om Dharmo bilang, kita sudah diberi sinyal untuk menempati tempat di pojok depan komplek Khandang. Kondisinya tidak terlalu memprihatinkan, tetapi setidaknya ada harapan untuk membangu sebuah pondok yang bisa membuat nostalgia bagi warga atau anggota Eska, atau untuk tempat Canaka dengan OO memadu kasih secara bersama.

Obrolanpun mengalir, rencana setidaknya sudah disusun tentang sebuah gubuk 4 X 8 dengan atap genteng dinding papan dan sebagian tembok sudah terencana. Tiba-tiba Dono dengan kostum celana pendek datang tiba-tiba mengejutkan Om Dharmo.

Obroloan kembali mengalir, semangkok mie instant muncul di depan Om Dharmo dan membuat ngiler Muis dan Zuhdi. Akhirnya mengalirlah mie instan dari penjaga Khandang, satu persatupun keluar mengisi perut masing-masing yang sudah keroncongan.

Wassalam
Dharmo, Zuhdi, Gus OO, Dono, Frans, Mail, Rahmat, Muis, Asnil, Surya

Catatan Dari Auditorium

Lahirnya Teater Eska secara tidak langsung didorong oleh berbagai pemikiran dan kegiatan seni di IAIN (sekarang UIN) yang berlangsung sebelum teater Eska didirikan; misalnya dengan adanya berbagai kegiatan oleh seniman atau kelompok seniman yang melakukan pementasan seni (musik, sastra maupun teater) pada tahun 1970-an. Setelah menjadi kegiatan mahasiswa (UKM), banyaklah aktivitas kesnian yang berlangsung di sanggar ESKA, bahkan seniman mangkal di sanggar mungkin sudah tidak terhitung lagi. Tapi sayang, Auditorium IAIN tidak lagi, dan sekarang ESKA sedang berbenah mencari ruang baru untuk menebus dosa atas diratakannya Auditorium dengan tanah.

Faktor-faktor lain yang mendorong teater ini sangat banyak, khususnya berbagai kegiatan seni dan sastra yang sering dilakukan di IAIN sendiri seperti berdirinya orkes gambus Al-Jami”ah, lahirnya majalah ARENA sebagai media sastra yang representatif dan juga munculnya kelompok-kelompok sastra di berbagai fakultas di lingkungan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

ESKA merupakan akronim fonologis dari Sunan Kalijaga, jadi penyebutan Teater Eska sama dengan mengucapkan teater Sunan Kalijaga. Teater Eska ini pada mulanya adalah KSU (Kelompok Seni Ushuluddin) yang kemudian dibubarkan dan diganti dengan satu lembaga seni tingkat institut yang barn dengan nama TEATER ESKA. Pendirian Teater Eska ini ditandai dengan pentas drama ”Kesadaran yang Kembali” pada 18 Oktober 1980. Sebagai lembaga kesenian tingkat institut, teater eska selanjutnya diakui sebagai lembaga formal melalui SK Rektor tahun 1982 yang menyatakan bahwa teater Eska merupakan lembaga kesenian institut yang berafiliasi dengan lembaga P3M (Pusat Pengabdian dan Pengembangan Masyarakat).

Secara redaksional orientasi, visi dan misi teater eska itu dapat dinyatakan sebagai berikut :”Orientasi : humanisasi, yaitu menggali dan mewujudkan seni Islam secara progressif, serta memberikan alternatif bentuk kesenian (teater, sastra dan musik) di tengah masyarakat.”Visi : liberasi, yaitu membebaskan umat dari berbagai bentuk penindasan fisikal maupun metafisikal.”Misi : transendensi, yaitu mendampingi, mendorong, meningkatkan kualitas pemikiran dan penghayatan spiritualitas umat dalam beragama dan berbudaya.

Aktifitas atau kegiatan teater Eska secara umum dapat dikelompokkan ke dalam bentuk : aksi seni (performance action), aksi wacana (appreciation action), aksi budaya (cultural action).Aksi seni menunjuk pada berbagai pementasan yang telah diprogramkan. Hingga saat tulisan ini dibuat setidaknya aksi seni ini telah menghasilkan berbagai pementasan, antara lain : Pentas Produksi (27 pementasan), Pentas Musik (10 pementasan), Pentas Sastra/Tadarrus Puisi (11 pementasan), Pentas Studi (20 pementasan), Pentas Ulang Tahun (5 pementasan, Pentas Kolaborasi/Pentas Bersama (15 pementasan)Aksi wacana menunjuk pada berbagai bentuk kegiatan yang telah diprogramkan maupun yang bersifat temporal untuk meningkatkan kualitas pemikiran dan apresiasi seni anggota teater Eska, seperti mengikuti pertemuan teater kampus maupun non-kampus, diskusi seni, pesantren seni, bedah buku, penerbitan buku antologi, menulis di surat-surat kabar, mengundang teater kampus yang ada di Yogyakarta (sekitar 27 teater) dan membentuk FKPTK (Forum Komunikasi dan Pengembangan Teater Kampus) pada tahun 1995.Aksi budaya menunjuk pada keterlibatan Teater Eska dalam­ kegiatan-kegiatan seni-budaya di tengah masyarakat yang bersifat temporal, seperti baca puisi bebas, pentas dalam rangka mengisi acara yang dilaksanakan oleh teater Eska sendiri atau lembaga lain baik dipesan atau dengan cara suka rela, menjadi panitia kegiatan festival seni, menerima tamu/menjadi panitia pementasan kelompok seni/teater di UIN atau di tempat lain, menjadi pendamping kegiatan seni, menjadi juri lomba, pentas pendek di hadapan mahasiswa baru, happening art, dan lain-lain.

Senin, 31 Maret 2008