RamadhanTungku Waktu dalam Tadarus Puisi Teater Eska
Oleh Agnes Rita
Sulistyawaty Jika aku berjihad semoga yang kulawan diriku sendiri saja/Jika aku gugur di medan laga, toh kematian tak lagi bermakna/Semoga jiwaku hanya engkau saja penggenggamnya. Bersamaan dengan berakhirnya kata-kata yang diteriakkan seorang berpakaian putih di atas kursi singgasananya, tiga mayat yang masih terbungkus kafan bangkit dari peti, begitu pula tiga orang berpakaian serba putih terjaga dari lelap mereka. Menit-menit berikutnya, bait puisi-puisi karya Matori A Elwa diucapkan bergantian dari para pemain.
Inilah Tadarus Puisi XIII berjudul Tungku Waktu yang dibawakan Teater Eska Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga pada, Minggu (8/10) di sebuah lapangan terbuka di gedung lama Fakultas Tarbiyah kampus setempat. Pertunjukan sekitar 45 menit itu hendak menggugat persoalan waktu, dengan "meminjam" kata-kata dari Matori, penyair kelahiran 6 September 1965, terutama dari kumpulan puisi bertajuk Negeri Rajah Istighfar.
Jejen Fauzan, penulis naskah, mengaku tertarik dengan puisi bertema waktu. Dalam proposal, Teater Eska ingin mempertanyakan kembali perilaku manusia untuk berburu kesenangan yang pada akhirnya hanya berhadapan dengan dinding kosong. Di antara lantunan bait-bait puisi secara bergantian, musik yang digarap Dadang Hermawan berusaha memberi suasana gaib pada pertunjukan. Tidak hanya bunyi suling atau kendang saja yang dihadirkan malam itu.
Lengkingan gitar dan entakan drum juga ikut memberi kesan mistik. Tadarus yang disutradarai Musfiq Ch tahun ini berbeda dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, yang sempat juga mengusung musik hardcore dalam pertunjukan.
Gerak stakato atau terpatah-patah yang sempat dihadirkan beberapa kali dijadikan simbol untuk menggambarkan perguliran waktu yang selalu mencatat kebobrokan tingkah manusia. Perputaran waktu juga digambarkan pula dengan sejumlah kata atau gerak yang dilakukan berulang kali. Para personel Teater Eska mati-matian menolak adanya penokohan dalam tadarus kali ini. Namun, setting panggung yang bernuansa alam kuburan telah menggiring imajinasi penonton untuk menyebut para aktor itu seperti "tokoh" mayat serta sosok putih yang melambangkan "penghuni" lain dalam kehidupan manusia berikutnya. Begitu pula keinginan Teater Eska untuk menampilkan puisi tanpa diembel-embeli teater didalamnya.
Usaha ini masih berbenturan dengan kenyataan di atas panggung, yakni akting pemain yang sangat teatrikal, antara lain dengan melakukan pengulangan kata secara berbisik-bisik dan gerak panggung para pemain yang begitu dinamis dari satu tempat ke tempat lain. "Pentas ini adalah teks yang bebas dibaca apa pun oleh penonton. Kami juga berusaha agar tidak ada penokohan dalam lakon malam itu," tutur Musfiq Ch. Acara tahunan Tadarus puisi merupakan kebiasaan yang dipersembahakan Teater Eska setiap tahun, pada bulan Ramadhan. Kegiatan yang diadakan setelah shalat tarawih malam itu dimaknai oleh tim Teater Eska sebagai bagian dari upaya membangun religiusitas di kampus UIN Sunan Kalijaga.
Nama tadarus belum ditemukan definisi bakunya. "Kami juga berharap bisa memberikan alternatif membawakann tadarus," kata Musfiq. Di tengah akting teater yang membawakan puisi malam itu, para pendukung acara, baik pemain, sutradara, maupun penata musik mengakui keterbatasan waktu untuk mengeksplorasi penampilan mereka malam itu. Seluruh persiapan pementasan ini tergolong singkat, hanya 25 hari saja. Maklumlah, bila pentas diundur lagi, sebagian personel Teater Eska sudah mudik ke kampung halaman masing-masing.
Selasa, 01 April 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar