Selasa, 01 April 2008

Keteguhan Iman Teater Eska

Keteguhan Iman Teater Eska
Oleh Marhalim Zaini
Tanggal: Wednesday, 24 December 2003 11:09Topik: No.38 Th.56 Minggu III Desember 2003

“Hamba tak punya nama, wujud hamba adalah nama hamba....”SEORANG RAJA yang lalim, tiba-tiba mati, kemudian hidup kembali dalam tokoh lain yang lebih jahat dan kejam. Untuk membenarkan kejahatannya, ia perintahkan pada seorang penyihir (penasihat istana) untuk menyusun kitab suci baru (kitab suci kebohongan). Karena merasa sudah tua, sang penyihir mewariskan tugas dan semua ilmunya kepada seorang pemuda.

Namun tanpa sepengetahuan raja maupun penasihatnya, pemuda itu juga belajar ilmu pada ahli agama.Dan ketika ilmu agamanya sudah mendalam, ia memberontak dan melakukan perlawanan pada sang raja. Sampai akhirnya ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Akan tetapi, walau disiksa dengan berbagai cara, pemuda itu tetap teguh pendiriannya, pada iman dan kebenaran yang diyakininya, hingga kemudian ia dan seluruh pengikutnya dimasukkan ke dalam parit-parit yang telah dipenuhi kobaran api. Dan parit-parit itu terus memanjang, digali dan dibangun sepanjang abad sebagai penjara paling biadab dalam sejarah peradaban manusia.

Dari sinopsis cerita Toghout (Para Penggali Parit) di atas, ada semacam keyakinan yang mendasari proses lahirnya sebuah gagasan teater dalam tubuh Teater Eska. Keyakinan --yang kelak disebut ideologi-- itu seolah dalam pementasan kali ini, mencuat sebagai bahasa penegasan yang konkret terhadap wacana estetik yang diimani Teater Eska sejak tahun 1980-an. Dan sejarah mencatat, Teater Eska pun kemudian mampu menyempal membentuk sebuah rezimentasi “teater sosial-religius” di tengah dominasi wacana “teater sampakan”, “teater kontekstual”, dan “teater benda-benda”.

Toghout yang dipentaskan di tiga kota ini (Purna Budaya Yogyakarta: 25 - 26 September, Auditorium IAIN Suka: 10 Oktober, UIN Sahid Jakarta: 18 - 19 Oktober, dan Gedung Kesenian Bandung: 21-22 Oktober), di lain pihak barangkali juga hendak mengusung sebuah tawaran tema dialog tentang wacana ideologi dalam teater modern di Indonesia yang beberapa tahun silam menjadi perbincangan di belantara teater, terutama di Yogyakarta.Hamdy Salad selaku penulis naskah dan sutradara dalam pementasan ini, tampaknya sadar benar bahwa kapal yang dinakhodainya akan menuju ke muara yang mana. Dari semua aspek pertunjukan, mulai dari teks naskah yang puitis (terasa berat karena syarat makna) dengan dihiasi idiom-idiom khas spiritualitas Timur, yang diucapkan oleh para aktor dengan rata-rata menggunakan grand-style ala klasik yang pada banyak sisi sesungguhnya terkesan tambah memperberat corak pementasan ini -- meskipun memang untuk lari pada pilihan teknik berperan yang lain dengan kalimat-kalimat dialog serupa itu, kemungkinannya sangat kecil. Lalu artistik pentas (kostum, properti, setting) yang bernuansa surealis dengan simbolisasi bentuk (torehan rajah-rajah dan ornamen-ornamen) dengan sentuhan warna klasik, juga musik yang didominasi oleh bunyi-bunyi bernuansa magis dan ketimuran, secara keseluruhan sangat mendukung dalam membangun suasana religius dan transendental yang diinginkan.

Pilihan tema dalam cerita ini pun kemudian memungkinkan untuk diarahkan pada objek-objek yang lebih kontekstual. Perang kemanusiaan antara Barat dan Timur dapat ditangkap dengan mudah lewat visualisasi bentuk pengolahan cerita maupun dari munculnya simbol-simbol warna bendera dan kostum yang dikenakan pemain. Apalagi ketika diverbalkan dengan sebuah layar hidup (dengan penggunaan media LCD) terbentang pada salah satu sisi panggung yang menayangkan rekaman gejolak perang Amerika-Irak, penonton dapat lebih tegas mengatakan bahwa ini adalah respons kreatif dari Teater Eska dalam merefleksikan realitas sosial-politik ke atas panggung.

Mungkin dengan cara ini pula di lain pihak dapat membantu penonton untuk lebih mempermudah mengakses bahasa simbol yang demikian padat, baik dari teks naskah maupun teks panggung.Dari sini, kalau hendak ditelusuri lebih jauh, Teater Eska telah menunjukkan satu pilihan dalam berkesenian lewat wawasan estetika Islam yang relevan bagi tujuan inovasi mereka.

Mulai dari awal pementasannya di tahun 80-an dengan naskah Syekh Siti Jenar, lalu Wahsy (adaptasi novel Nadjib Kaelani), Parlemen Setan (adaptasi puisi Iqbal), Kunci Syurga, Simurg (adaptasi novel Musyawarah Burung karya Fariduddin Attar), Berdiri di Tengah Hujan, Kaki Langit, Di Atas Bangku Kosong, Hingga Perbatasan Hari, dan Toghout sendiri merupakan pilihan-pilihan naskah yang bukan tanpa pijakan ideologis.Wawasan estetik Islam di sini sesungguhnya sejalan dengan pandangan Abdul Hadi WM dalam melihat kecenderungan dalam senirupa Islam, yang berdasarkan pada sebuah pemahaman bahwa untuk menciptakan sebuah karya, sang seniman harus berdiri di luar ilusi, yakni bentuk-bentuk artistik yang diyakini seolah benar-benar merupakan representasi dari objek-objek yang ada di alam zawahir. Sebab tugas seniman bukanlah melakukan peniruan (mimesis) yang bersifat indrawi, akan tetapi mendayagunakan kemampuan akal, imajinasi dan intuisinya untuk menghadirkan diri sepenuhnya.

Lebih tegas Abdul Hadi mengatakan “sebagai representasi simbolik dari dunia kerohanian, seni semestinya mampu menjadi semacam tangga naik menuju pengalaman religius dan transedental”. (Ulumul Quran, 1998).Wawasan estetika semacam ini bagi Teater Eska --yang berbasis pada ilmu-ilmu agama karena memang secara organisatoris berada di bawah bendera Institusi Agama Islam-- secara riil dapat dilihat pada style penggarapan yang tidak memilih aliran-aliran tertentu dalam teater, seperti realisme, klasik, absurd, dll, yang telah memiliki konvensi dramaturgi masing-masing. Akan tetapi melompat-lompat dari ruang kosong satu ke ruang kosong yang lain, meskipun tidak akan pernah ada ruang yang benar-benar kosong dari konvensi jika kita menilik perkembangan teater kontemporer kita.

Namun Teater Eska terbukti dalam sejumlah pementasannya telah berhasil membuat ruang baru bagi medan pergulatan kreatifnya sendiri, dengan berdiri di luar konvensi baku dan berhasil mentransformasikan gagasan dan pengalaman ke dalam simbolisasi visual di atas panggung.Pilihan terhadap naskah Toghout ini --yang terinspirasi dan diilhami dari kisah-kisah klasik dalam Islam, tepatnya kisah Ashabul Hudud (QS, Al Buruj), menjadi beralasan ketika pelacakan estetika Islam kita telusuri lebih jauh ke belakang.

Bahwa sejak Perang Dunia Kedua kita mencatat nama-nama seprti Taha Husein yang mengangkat satu episode dalam kumpulan cerita klasik Seribu Satu Malam menjadi sebuah novel berjudul Shahrazah. Kemudian salah seorang pengarang besar Mesir, Taufik al-Hakim, menulis drama tentang para pemuda yang berbekal iman bersembunyi dalam sebuah gua dekat kota Ephesus di pantai barat Asia Kecil, untuk menghindari kekejaman Kaisar Decius. Lalu ada penulis dari Mesir lainnya seperti Mahmud Taimur yang menulis novel satir berjudul Kleopatra. Kemudian Nasjib Mahfouz yang pada dekade terakhir karya-karyanya banyak diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.

Belum lagi kalau mau menengok kekayaan khazanah sastra lama nusantara yang berlatar belakang Islam, baik dalam bentuk legenda, hikayat, mitos, kisah-kisah sufi dll, barangkali kita tak perlu iri dengan drama-drama Sofokles, Euripides dan Aeschylus yang hidup empat-limat abad sebelum masehi.Dan Teater Eska telah memulainya sejak 23 tahun yang lalu. Memulai sebuah perjalanan spiritualitas Islam lewat dunia teater. Pementasan Toghout adalah bukti keteguhan iman Teater Eska untuk tetap berkiblat pada ideologinya.

Meski di balik itu, sesungguhnya Teater Eska sedang digempur oleh kekuatan-kekuatan ideologi di luar dirinya yang terus membangun strategi-strategi dalam “parit-parit” modernisme, yang semakin mencuatkan konflik agama-agama sebagai salah satu pemicu untuk membentur-benturkan realitas dalam isu-isu sosial-politik. Pilihan Teater Eska pun akan sangat berisiko, jika pemahaman-pemahaman objektif atas kebenaran universal dalam seni, menjadi tameng bagi bahasa keberpihakannya, yang justru akan terbakar oleh kobaran api ideologi yang mengitarinya. Atau, mungkin sebaiknya Teater Eska berucap seperti kalimat yang keluar dari mulut sang pemuda pemberontak dalam cerita Toghout ini: “Hamba tak punya nama, wujud hamba adalah nama hamba....” n*)

Marhalim Zaini, adalah Penyair dan Pekerja Teater.

Tidak ada komentar: